Sabtu, 16 April 2016

Adat Pernikahan Suku Bugis

1.      PRA NIKAH
     Madduta/ lao lettu
     Ma’pisseng/ ma’tale unda’ngeng/ atau memberi kabar
     Mappalettu selling
     Ma’sarapo/ baruga
     Ma’pacci,mappatemme al-quran, mappanre dewata/ tudang penni
     Mappanre Dewata (makan dalam kelambu)

NIKAH
Mappenre Botting
Madduppa botting
Akad Nikah
Mappasikara'wa
Maréllau Dampeng

2.      SIMBOL – SIMBOL
·         Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Contoh gambar :

·         Bantal adalah simbol sipakatau  atau saling menghargai, itu tergambar dari fungsinya sebagai pengalas kepala saat tidur. Kepala merupakan bagian tubuh yang paling mulia dan dihargai. Begitu pula, sosok manusia baru dapat dikenal bilamana dilihat wajahnya, dan wajah adalah bagian dari kepala
·         Sarung merupakan simbol mabbulo sipeppa atau persatuan, itu tergambar jalinan dan kumpulan lembaran benang yang disatukan kemudian diolah dan ditenun. Sarung sebagai simbol persatuan dan penutup aurat. Penggunaan empat lembar sarung yang disusun dalam suatu lingkaran mengandung makna kesiapan calon mempelai memasuki kehidupan berumah tangga dengan terlebih dahulu membersihkan 4 hal, yaitu mapaccing ati artinya bersih hati
·         Daun pisang. Pisang adalah simbol serbaguna karena seluruh bagian dari pohon pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pisang merupakan tanaman produktif karena sekali kita menanam pisang, akan tumbuh dan berkembang, patah tumbuh hilang berganti. Sama halnya dengan manusia hidup dan berkembang dari generasi ke generasi melalui perkawinan.
·         Daun nangka. Nangka adalah simbol cita-cita, dalam bahasa Bugis disebut ‘panasa’ yang mengandung makna mamminasa, yang memiliki arti tekad dan cita-cita.
·          Daun pacci/pacar adalah simbol kebersihan atau kesucian karena daun pacci itu digunakan sebagai pemerah kuku atau penghias kuku, belo-belo kanuku. Sebagaimana yang tercantum dalam pantun Bugis tadi yang berbunyi “DUA MI UWALA SAPPO, BELO NA KANUKUE, UNGANNA PANASAE”. Terjemahan bebasnya : hanya dua kujadikan perisaiku yaitu pacci (kesucian) dan lempu’(kejujuran). Peribahasa ini berlaku bukan hanya dalam hal pernikahan, tetapi hadir dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat Bugis. Contoh gambar:

·             Lilin adalah simbol penerangan dan pengabdian; digunakan sewaktu gelap sebagai penerang dan sebagai simbol pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.



3.      TAHAP – TAHAP
-.Madduta/ lao lettu
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara saksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jangan sampai tingkatan pelamar lebih rendah daripada perempuan yang akan dilamar.
      - Ma’pisseng/ ma’tale unda’ngeng/ atau memberi kabar
      Setelah kegiatan madduta atau peminangan telah selesai, dan menghasilkan kesepakatan,     Maka kedua belah pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar.                                                                                          
-Mappalettu selling
     Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya    pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan  Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan.
      - Ma’sarapo/ baruga
   Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut wlsuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini masyarakat Bugis sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.berikut ini contoh gambar “walasuji”: